Minggu, 28 Februari 2016

AKU BERBEDA


Perbedaan berasal dari bahasa Inggris difference yang atinya adalah perbedaan. Di Negara ini, Indonesia, perbedaan kerap kali menjadi persoalan. Perbedaan tidak bisa diterima beberapa pihak yang tergabung dalam komunitas-komunitas radikal yang menganggap paham merekalah yang benar da memandang paham lain rendah dan menganggap apa yang diluar pemahaman mereka adalah kafir. Bukan tidak banyak mereka berasal dari kelompok yang mengatas namakan agama. Layaknya suatu agama mengajarkan tentang kebaikan untuk dilakukan dibumi ini. Mengajarkankan bagaimana agar hidup berdampingan tanpa ada dengki dan merendahkan. Juga mengajarkan tentag toleransi serta simpati terhadap individu lainnya. namun kenyataannya adalah suatu agama menjadi buruk citranya oleh karena ulah-ulah yang tidak bertanggungjawab tersebut. Itulah seputar perbedaan. Banyak pengamat politik dan hukum serta pemerhati pendidikan mengatakan bahwa semua ini adalah sebuah kegagalan pelaku pendidikan selaku pelopor karakter anak bangsa di negeri ini. Seakan menjadi tugas utama guru dalam hal ini. Akan tetapi, kali ini tidak berbicara tentang apa itu perbedaan dan bagaimana aplikasinya dalam kehidupan ini, kali ini lebih cenderung pada kisah duniaku dan dunia teman-temanku.
Saya awali dari gambaran sebuah kisah sepasang kekasih. Berakhirnya suatu hubungan pasangan kekasih apa bila berakhir dengan naik tingkat, yaitu memulai hidup baru dengan gelar pasutri atau pasangan suami istri. Barang tentu setiap pasangan telah memiliki rancangan yang sudah mantap sebelum melangsungkan sebuah ikatan janji kasih itu. Yang pasti adalah masa depan yang cerah dan dengan kesuksesan yang melimpah. Berbagai persiapan pasti dilakukan untuk mengejar secercah harapan yang indah. Katakanlah program jangka pendeknya adalah memiliki generasi baru. So pasti, setiap lahir seorang anak pada sebuah pasangan akan hadir sebuah kebahagiaan yang tak terbayarkan. Hingga menaruh semua harapan dan cita-cita pada anak pertama. Apapun dilakukan. Persiapan untuk itu pun pastilah dengan persiapan yang extraordinary. Memberikan asupan makanan bergizi serta vitamin yang cukup. Menyekolahkannya disekolah favorit. Menyajung dan memotivasi bagaikan semua bangsa telah menantikan kehadirannya didunia. Itulah yang seharusnya dimiliki seorang anak yang baru lahir kedunia. Sebab dia tidak pernah minta untuk lahir. Sebab dia putih bagaikan kapas. Sebab dia bukan mahluk yang bersalah. Sehingga layak diperlakukan dengan penjagaan yang prima serta kasih sayang. Yang menjadi pertanyaan. Apakah semua orangtua sudah memperlakukan anaknya dengan kasih sayang?
Memperlakukan dengan penuh kasih sayang. Apa yang menjadi tolok ukur perlakuan dengan penuh kasih sayang? Memberi uang, mentraktir banyak orang, menyanjung dan meberi kado disaat natal dan tahun baru atau ulag tahun. Apakah itu yang dinamakan dengan perlakuan kasih sayang? Itu menjadi refleksi kita bersama dan cukup dijawab dalam hati.
Kini usia saya 26 tahun dan saya makin mengerti dan bisa melihat arah hidup saya ada dimana alias passion. Saya semakin nyaman bersama anak-anak. Tidak hanya bersama anak dimana tempat saya mengajar, namun setiap melihat sosok anak menambah semangat diri saya dan seakan ada karisma dimata saya ketika setiap anak memandang kearah saya. Mereka banyak yang tersenyum. Saya senang dan bahagia saat melihat senyuman itu. Seakan senyuman itu menambah amunisi semangat yang ada pada diri saya. Anak merupakan hal luar biasa bagi saya. Saya semakin mengerti dunia anak. Mereka adalah harapan bangsa dan generasi penerus dunia. Itu bukanlah teori semata. Walau kita hebat saat ini, tapi kita sudah punya kemampuan terbatas disbanding mereka. Cita-cita kita sudah pupus dimana kita berada saat ini, namun mereka masih punya sejuta harapan dan cita-cita untuk masa yang akan datang. Jadi mereka bukan objek permainan dan bukan hal sepele. Untuk itu anak-anak harus dibimbing, dijaga, diarahkan da disayangi.
Dari awal tulisan ini mengulas kejadian-keadian yang umum terjadi. Namu saya memiliki hidup atau dunia yang berbeda dengan kejadian yang umum terjadi ini. Saya juga pernah didalam kandungan orangtua saya, juga pernah lahir dinantikan banyak orang, pernah kecil, remaja, dewasa dan hingga kini. Mengapa saya katakana punya dunia yang berbeda disbanding teman-teman yang lain? Pembahasan selanjutnya akan menjawab pertanyaan ini.
Kalau diawal saya mengatakan seorang pasutri punya rencana atas anak yang bakal hadir ditengah-tengah keluarga mereka. Dan itu kita amini bersama. Bagaimaa dengan orangtua saya? Saya yakin bahwa orangtua saya dipercayakan oleh Tuhan untuk dititipkan bagi mereka agar memuliakan-Nya kelak. Sudahkah mereka sukses dan bertanggungjawab atas titipan yang Tuhan berikan itu? Saya tidak pernah menyalahkan mereka. Justru mereka adalah pahlawan bagi diri saya. Apakah Tuhan salah memilih orang untuk menitipkan saya? 100% tidak. Saya adalah satu dari beberapa orang yang beruntung yang Tuhan titipkan kedunia ini. Mengapa? Biarlah terjawab lewat pernyataan-pernyataan yang akan muncul nanti.
Ketika saya berusia satu tahunan, fisik saya tidak tumbuh sebaik balita-balita lainnya. saya mengalami penyakit yang kurang begitu aku ketahui persis nama penyakitnya sehingga saya harus dirawat saudara laki-laki ibu saya, kalau di kami orang batak disebut Tulang. Jadi usia balita, saya dirawat Tulang saya mulai saya tidak mengenal hidup hingga mulai mengenal hidup. Mengapa saya yakin mengatakan demikian? Banyak orang dan keluarga saya mengakui dan menyatakan hal itu pada saya. Hingga saya tidak mengenal ayah dan ibu saya ketika saya pertama sekali mengenal hidup. Saya mulai mengenal hidup ini kira-kira usia tiga tahunan. Saat itu saya sudah bisa dilepas oleh Tulang saya karena penyakit saya sudah pulih dan mereka yakin dengan asupan gizi natural yang sudah mereka berikan selama ada pada mereka. Saat itu pula saya takut pada ayah dan ibu saya. Mereka datang menjemput saya. Yang saya tau saat itu orangtua saya adalah yang merawat saya ketika sakit yaitu Tulang saya. Kalau dipikir-pikir betapa sakitnya hatiu ibu saya saat itu. Tapi semua itu adalah karena begitu besar kasih Tulag saya hingga menerima saya untuk dirawat hingga sehat total. Seiring dengan berjalanya waktu saya mulai bisa menerima ayah dan ibu saya sebagai orangtua saya.
Dengan rasa bangga dan rendah hati, saya perkenalkan latarbelakang orangtua saya. Mereka dulunya adalah anak orang yang berkecukupan, cukup terpandang di kampung mereka masing-masing. Mereka merupakan anak yang maja saat masa mudanya. Mengapa saya katakana anak yang cukup manaja? Contohnya ayah saya ketika duduk di bangku SMP, tidak jarang saya dengar selalu trouble maker dalam setiap saat. Ketika duduk di bangku SMA ayah saya sudah terbiasa diberangkatkan kesekolah dengan suguha uang kantong yang lumayan banyak. Ayah saya dulu salah satu yang disegani dalam gengnya pada saat itu. Hingga harus menjalani tiga sekolah yang berbeda saat itu. Jangakan orangtuanya, saya saja mendengarnya sungguh tidak bisa diterima akal sehat saya. Apa yang terjadi pad diri ayah saya? Apakah pendidikan yang salah yang diterapkan orangtuanya? Setiap orangtua punya cara yang berbeda dalam mendidik anak. Saya tidak tahu teori apa yang digunakan kakek-nenek saya dalam mendidik anak-anaknya. Sebab saya belum ada saat itu. Tidak berbeda jauh dengan kisah ibu saya. Konon katanya orangtuanya memperlakukannya berbeda dengan yang lain. Dia seakan dianak emaskan, setiap ibu saya membuat permintaan, dalam hal ini adalah permintaan untuk memilih tempat sekolah dan pilihan-pilihan lainnya. sebuah kebebasan yang tapat yang diberikan orangtuanya pada ibu saya sehingga yang menjadi masalah adalah kontrol yang kurang serius yang menjerumuskan ibu saya harus meninggalka bangku kuliahnya dan memilih untuk bekerja karena pengaruh lingkungan. Olehkarena kurang pengawasan tadi dengan leluasanya dengan mudahnya dia diyakinkan oleh ibu saya. Tinggallah kuliahnya. Namun, kenyataannya adalah pekerjaan yang dijanjikan temannya berujung ketidak pastian. Begitulah sedikit dari gambara singkat masa lalu mereka berdua.
Kedua orangtua saya berpropesi sebagai petani. Namun berbeda dengan selayaknya sebagai petani. Mereka tidak punya latarbelakang yang cukup untuk menjadi seorang petani. Kita tahu lah bagaimana masa lalunya. Memang anak petani berdasi, namun tidak pernah bersentuhan dengan sarana-sarana dan tidak cakap dalam hal bercocok tanam. Sehingga butuh waktu yang lama untuk menjalani proses belajar.
Ketika saya remaja sering berpikir aneh dan merenung mengapa hidup kami tidak begitu enak seperti keluarga-keluarga yang lain; akur, berkecukupan, selalu ceria. Terlepas dengan apa yang terjadi pada diri mereka yang sebenarnya, namun yang saya lihat mereka adalah hidup survive. Kini saya semakin memahami artinya hidup. Saya semakin mengerti dan berusaha memahami semua yang terjadi pada keluarga kami.
Ketika saya berusia tiga tahun, ibu saya menghabiskan hari-harinya disawah. Dia adalah ibu yang bertanggungjawab dan penuh dengan perjuangan walaupun saya sering menyesalkan menikah dengan ayah saya. Saya yakin penyesalannya itu hanyalah sebuah kejenuhannya dalam setiap aktivitasnya disawah. Setiap hari ibu saya keladang dan sawah, bekerja sembari saya tidur dalam gendongan ibu saya. Terkadang saya ngeyel dipunggung ibu saya, saya menangis, saya tidak tahu kalau ibu saya begitu lelahnya saat itu, tetesan keringat mengalir dipunggung ibu saya, tidak mengerti apa itu. Terkadang ibu saya lelah dan menidurkan saya di joglo kecil ditengah-tengah persawahan. tidak jarang saya menangis di joglo memanggil-manggil ibu saya dan membiarkan saya merangkak bermain dipersawahan. Itulah yang saya alami diusia seharusnya belajar. Justru saya menghabiskan hari-hari bersama ibu saya diladang, bermain lumpur, bermain bersama hama padi, belalang dan binatang-binatang kecil lain yang kadang-kadang menghinggapi kepala saya tanpa sepengetahuan ibu saya ketika dia sedang sibuk dengan padi—adinya saat itu. Sementara teman-teman seusia saya saat itu menghabiskan masa kecilnya dengan mainan-mainan yang sedikit modern, yang lainnya sudah duduk di bangku Play Group dan TK. Terjadi kesenjangan yang sangat vertikal. Teman tema seusia saya sudah mengenal huruf dan angka dengan baik. Sementara saya masih bergulat dengan lumpur dan celana serta baju basa saya akibat dibiarin seharian bermain.
Kesenjangan telah ada diantara saya dan anak-anak yang lain. Dalam bermain kami tidak pernah bertemu. Berkomunikasi sangat jarang akibat tidak adanya pertemuan. Sangat mengganggu psikologis saya. Ketika saya tiba-tiba bertemu dengan teman-teman seusia saya, saya tidak tahu berkata apa. Lidah saya tidak terbiasa berucap sapa dalam bermain. Saya hanya mengenal dan bisa menyebut nama kakak-kakak saya. Tidak jarang saya dibulli teman-teman akibat kurang pergaulan saya dengan teman-teman. Bukan hanya itu, saya jadi pendiam dan penakut ketika berhadapan dengan orang-orang disekitar saya. Dan itu telah mendarah daging hingga saya remaja dan bahkan dewasa. Saya takut bicara, saya takut salah, saya malu ditertawakan orang. Kadang orang menilai salah pada diriku, akibat kebanyaka diam, saya di judge sebagai orang sombong, tetapi mereka tidak mengerti apa yang terjadi pada diri saya. Pendidikan psikologis yang sangat fatal telah terjadi pada diri saya, semoga dan saya selalu berdoa agar adik-adik saya tidak mengalami hal yang sama denga apa yang saya alami.
Sekitar usia tujuh tahun saya memasuki bangku sekolah dasar tanpa menduduki bangku PG dan TK. Saat itu, kurikulum masih menggunakan Kurikulum 1996 sehingga masih menggunakan catur wulan. Satu catur wulan cukup bagi saya beradaptasi dengan teman-teman yang lain. Selama satu catur wulan saya duduk terasingkan dari teman-teman saya. Saya sekolah di kecamatan dimana sekolah itu sudah sedikit maju disbanding sekolah dimana saya tinggal. Disamping saya belajar alphabet dan angka, saya uga harus belajar bagaimaa berbicara dengan bahasa Indonesia yang benar. Saya sering menadi cemoohan teman-tema saat itu karena mereka tidk mengerti dengan apa yang saya ucapkan. Terkadang saya panik. Saya bagaikan patung ataupun boneka saat kecil. Saya tidak tahu mengadu kepada guru ataupun orangtua saya karena tidak terbiasanya berkomunikasi. Dalam catur wulan pertama saya menjadi pendiam kelas berat. Barangkali tidak bisa dikatakan pendiam, banyak orang kadang mengaggap saya orang bodoh. Beberapa kali guru saya mensomasi oragtua saya mengenai karakter saya disekolah. Disatu sisi sikap diam adalah sebuah kebanggaan. Saya tidak pernah mengganggu teman-teman layaknya seperti anak-anak yang aktif yang saya jumpai dikelas saat itu. Akibat somasi tersebut saya pun menjadi bahan ceramahan dirumah dan menjadi fokus didikan oragtua saya. Seingat saya, orangtua saya tidak pernah membimbing saya dalam mengerjakan tugas dari sekolah atau bahasa kami saat itu PR, semoga ingatan saya salah ya. Karena yang saya ingat hanya kakak sulung saya lah yang memandu saya dalam mengerjjakan setiap PR. Jerih payah saya dan kakak saya berbuah masih. Itu terlihat ketika caturwulan ke dua saya menduduki peringkat pertama dikelas. Guru saya sayng mensomasi orangtuaku dulu tidak melihat prestasiku saat caturwulan kedua sebab dia sudah pension saat itu. Namun ketika dia mengetahui kabar itu dia mengapresiasi perjuanganku. Sejak itu saya mulai mengenal diri saya dan semakin percaya diri. Saya menahlukkan anak-anak orang kaya saat itu. Saat itu terjadilah istilah anak petani menahlukkan anak pejabat. Saya yakin ibu saya bisa tersenyum saat itu.
Barangkali teman-teman apabila memperoleh peringkat yang bagus akan dihargai berupa suguhan kado ataupun memberikan reward yang cukup menggiurkan sehingga memotivasi kita dalam belajar. Berbanding terbaik dengan yang saya alami. Nothing reward, nothing gift, hanya ciuman seorang ibulah yang menjadi hadiah. Kini saya sadari ciuman itu melebihi harta kekayaan didunia yang fana ini. Ciuman sang ibu yang penuh arti. Dia tulus memperlakukan dan mengapresiasikan itu kepada saya melebihi sebuah kado dari seorang sinterklas. Tak terukur nilainya.
Menjalani sekolah dasar di SD 091444 Dolok Maraja kecamatan Dolok Panribuan, setiap hari pergi kesekolah dengan jalan kaki. Terkadang saya menyayangkan ketika melihat anak-anak ama sekarang menangis apabila tidak diantar dengan mobil ataupun motor kesekolah. Saya berjalan kaki kesekolah sejauh 1,5 Km dari rumah. Disekolah kami harus tiba paling lama pukul 07.00. lewat dari itu kami akan diberikan konsekwensi tidak masuk kekelas serta dipulangkan sesuai dengan tingkat keseringan terlambat. So, untuk mengantisipasi hal tersebut, saya dan kakak-kakak saya harus bangun pukul 05.00. kami punya tudah masing-masing. Ada yang memasak, membersihkan rumah dan ngangkat air. Setelah itu kami beranjak ke kali saat remang-remang pagi untuk mandi. Kami dan teman-teman sekampung sudah terbiasa mandi saat subuh dikali dan itu menjadi sebuah rutinitas dikampung kami. Kami menganggap dunia kami adalah dunia yang sebenarnya yang langsung bersentuhan dengan alam. Pukul 06.15 kami stand bye berangkat kesekolah jalan kaki. Kami hanya membutuhkan waktu 30 menit tiba kesekolah dengan jarak tempu 1,5 Km. Apabila kita perhitungkan kecepatan kami adalah 3 Km/jam. Kami harus melalui persawahan ketika berangkat kesekolah agar tidak terlambat dan tidak dihukum disekolah. Setiap pagi sepatu kami basa akibat embun dedaunan dijalur-jalur persawahan. kami jadi bahan olokan bagi teman-teman karena disaat siang hari ketika proses belajar mengajar berlangsung terciumlah sudah aroma tidak sedap.
Disekolah kami diperlakukan secara disiplin seperti militer. Kami tidak mendapatkan pendidikan karakter disekolah. Kami hanya difokuskan menuntaskan pelaaran yang tebalnya sangat memuakkan pada setiap buku, namun kami menikmatinya dan tidak bersungut-sungut. Bagaimana kami bisa disiplin disekolah padahal kami tidak belajar tentang kharakter seperti kurikulum 2013 yang mengutamakan sikap, keterampilan dan pengetahuan? Kami banyak belajar tentang sikap spiritual dan dan sosial dari orangtua saya secara khusus ibu tercinta. Disamping kami disuruh mengikusi sekolah minggu setiang hari minggunya kami mendapatkan pelajaran karakter yang sangat tak terbatas nilainya dari ibu saya. Ibu saya berangkat kesawah/lading setiap hari pukul 07.00 setelah kami erangkat kesekolah. Sebagai seorang ibu dia mempersiapkan makan siang kami diatas meja dibawah tudung saji dan dibagi sesuai dengan piring masing-masing. Jadi, setiap kami pulag dari sekolah, kami sudah punya jatah masing-masing untuk makan siang yang tersedia dipiring dan tidak ada istilah nambah. Hanya sajja, tidak di label pakai nama. Namun kami masng-masng sportif dan tidak curang dalam pengambilan makan siang. Itu tidak jarang terjadi.
Sepulang sekolah, saya makan siang dan ibu saya adalah tipe seniman. Dia sering menuliskan pesan dengan menuliskan kapur dilantai rumah kami denga tulisan “Coki, pulang sekolah kamu langsung datang keladang, tapi cuci dulu piring kekali” dan pesan-pesan yang lain sering ditinggalkan dilantai rumah kami. Tidak hanya pesan buat saya, begitu juga untuk kakak-kakak dan adik-adik saya. Kami punya mandate setiap hari dengan perantara tulisan dilantai atau dimeja. Kadang-kadang ibu saya menuliskan pesan lewat kapur, bilamana kapur sudah tiada, alternative yang lain adalah arang hitam yang menjadi solusi, dia tidak peduli dengan kebersihan lantai rumah, namun yang paling utama adalah message sent. Kadang saya berpikir ibu saya adalah kreatif dan cemerlang cara berpikirnya. Dia adlah sosok yang mempunyai segudang resolusi. Masalah apapun dalam keluarga kami selalu bisa diatasi, berbeda dengan sosok ayah saya, ibu saya jauh lebih bijak.
24 jam sehari adalah penuh dengan pembelajaran. Jika disekolah full belajar, jam istirahat terkadang saya duduk dikelas coret-coret dan membaca walaupun tulisan saya tidak begitu cantik tetapi saya suka menulis. Indicator suka menulis adalah bukan karena tulisannya inadh dilihat an rapi tapi sejauhmana konsistensinya dalam menulis, itulah pemahaman saya. Mengapa saya dikelas saat jam recess? Saya terkadang malu, teman-teman yang lain menghabiskan recess kekantin sementara saya tidak punya uang untuk itu, sehingga saya berpikir lebih dewasa dan mengambil kebijakan untuk menulis dan membaca. Beberapa kali saya diminta teman-teman anak orang kaya mengerjakan tugas/PR-nya dan saya diberikan bayaran, sebenarnya saya tidak menuntut balas atas budi yang saya lakukan tetapi teman-teman punya niat tulus memberikan itu. Terkadang itu bisa merupakan sebuah praktik KKN, seakan saya diukur dengan sebuah bayaran. Entah mengapa, saya berpikir sangat dewasa/mature saat itu. Ini merupakan real life. Bukan semata-mata untuk memperindah kata-kata dalam sebuah tulisan. Justru saya tidak bisa menulis ketika saya mengarang. Namun semua ini adalah hal yang terjadi dalam hidup saya.
Setiap pulang sekolah, makan siang dan langsung kesawah/lading. Tergantung message yang dititipkan sang ibu selaku otoritas kami dirumah. Usia Sekolah dasar mulai dari kelas satu hingga kuliah tangan saya sudah bersahabat dengan cangkul dan lumpur atau apapun itu yang berhubungan dengan pertanian. Pada saat pengolahan lahan, orang lain sibuk dengan menggunakan teknologi canggih, traktor. Sementara kami memanfaatkan sumber daya yang ada seperti tenaga kami ber empat bersaudara dan adik saya yang bontot belum bisa bergabung bersama kami. Kami mengolah sawah secara manual dengan menggunakan kaki dan cangkul. Saat musim tanam, orang lain sibuk dengan mengharapkan tenaga upahan untuk menanam padi di lahannya. Sementara kami tanam sendiri dengan memanfaatkan tenaga yang ada. Kami selalu diusahakan terlatih dalam segala hal pekerjaan.
Pengalaman hidup yang tak terlupakan. Jika teman-teman saya sepulang sekolah sibuk dengan bimbingan belajar dan khursus, saya sibuk dengan cangkul saya di lading/sawah. Kini saya sadari, ibu saya adalah sosok motivator bagi kami anak-anaknya. Saat kami bekerja disawah, ibu saya sangat rain berceritera, mendongeng, menceritakan cerita-cerita rakyat tradisional serta kearifan lokal yang ada diyakini disuku kami. Keluarga kami berasal dari dua suku ayah saya Batak Toba dan ibu saya Batak Simalungun. Nah, itu yang memperkaya cerita ibu saya saat kami bekerja di lading. Tidak segan-segannya juga dia menceritakan masa-masa suka-duka ibu saya saat muda, dia bercerita tentag mantan-mantannya.
Walau setiap hari kami lakoni, kami tidak merasa lelah karena cerita ibu saya yang tiada putus-putusnya. Selalu ada bahan ceritanya. Sungguh dia adalah sosok guru-digugu dan ditiru. Sebenarnya ibu saya terakhir meninggalkan bangku kuliah kira-kira semester dua di Fakultas Keguruan  jurusan Bahasa dan Sastra Inggris disalah satu kampus di Kota Pematangsiantar saat itu. Saya tidak mengaggap bahwa ibu saya ulet dalam bercerita oleh karena sempat kuliah. Karena saya tahu masa kuliahnya dulu tidak begitu mulus.
Kami terbiasa bekerja dengan secara team seperti paham goton-royong. Dipenghujung jalur sawah terkadang kami istirahat sekalian melepas lelah dan mengisi ulang air sebagai pelepas dahaga. Kadang kami disuguhkan dengan ubi rebus oleh adik saya perempuan yang langsung direbus diladang itu juga. Bagaikan ditaman firdaus. Kami nyaman memerankan hidup yang lebih dari cukup itu.
Usai istirahat sebentar kami kembali bekerja dan ibu saya sangat sering memotivasi kami dengan mencontohkan orang-orang sukses dari kampung kami itu. Dia tahu persis latarbelakang mereka dan ibu saya sering mengucapkan “si Anu itu dulu sama seperti kita, orangtuanya tidak punya apa-apa, namun karena gigihnya dalam bekerja dan rajin belajar dia sarjana dan menjadi pejabat” saat itu dia adi kepala  BKD di daerah kami. Bukan itu saja, masih banyak figure-figur lain menjadi yang diperlihatkan bagi kami. Ibu saya sering menyemangati kami dengan kata-kata “aku yakin kalian pasti sarjana semua kelak da sukses”. Ungkapan itu berulang kali terbersik ditelinga kami. Perkataan itu sungguh memang membuncah semangat kami dalam bekerja dan belajar.
Setiap orang didunia ini pasti punya permasalahan. Baik individu maupun dalam keluarga. Bukan bermaksud merendahkan harkat dan martabat keluarga saya. Keluarga saya menurut pandangan orang adalah tergolong broken home. Mengapa? Ayah saya dengan saudara-saudaranya tidak akur satu sama lain. Maklum, dikampung saya masih bisa ditemukan persoalan warisan antar saudara sehingga menyebabkan pertikaian keluarga pada saat itu. Saya tidak tahu bagaimana dengan sekarang. Karena saya sedang jauh dari daerah asal saya. Saya berharap itu tidak terjadi lagi. sebab mindset sudah berkembang seiring kemajuan teknologi dan peran serta gereja ditengah-tengah masyarakat sehingga meminimalisir gejala-gelaja sosial tersebut.
Walau terkesan broken home. Ibu saya tetap tegar dalam menakhodai kemana arah keluarga kami. Ibu saya tidak goyah dengan apa kata mereka. Dia tetap bekerja, berjuang dan berdoa. Dia punya keyakinan bahwa apa yang dikerjakannya adalah sungguh tulus dan benar. Pelarajan hidup yang sangat berharga yang dipertontonkan sang ibu kepada saya dan saudara-saudara saya. Ibu saya tidak pernah larut dalam sebuah persoalan yang tidak memiliki arti. Dia lebih memilih untuk bekerja bersama kami anak-anaknya.
Dengan gejolak ekonomi dan rumah tangga kami yang begitu berantakan. Ibu saya menanamkan kepada kami agar lebih dewasa menyikapi situasi. Menanamkan sikap mengenal jati diri atau bahasa daerah kami disebut BOTO LUNGUN alias tau diri. Setelah saya banyak membaca buku, saya temukan praktik yang salah yang diperankan ibu saya untuk kami anak-anaknya saat itu. Dia meminta kami agar menyikapi atau memahami situasi orangtua kami saat itu. Kami diajarkan untuk memikirkan darimana sumber kebutuhan sehari-hari dan harus menutupi utang yang banyak untuk biaya sekolah atau bercocok tanam. Dari salah satu buku yang saya baca karangan Hawari Aka mengatakan bahwa “ketika kita meminta anak-anak memposiskan dirinya diposisi kita saat kita bermasalah itu artinya kita merendahkan diri kita”. Otomatis dia lebih dewasa yang bisa mengerti kita. Ketika saya baca itu saya teringat akan kejadian-kejadian itu dan itu tidak terjadi hanya sekali. Namun, itu tidak jadi masalah bagi saya dan saudara-saudara saya, kami bersikap professional sebagai anak. Kami memahami penuh situasi dan kondisi kedua orangtua kami. Mereka juga tidak percah bercita-cita memiliki keluarga yang penuh dengan perjuangan seperti keluarga kami saat itu.
Yang menjadi hal menarik adalah saat kami anak-anaknya sudah dewasa dan kami menyelesaikannya bersama-sama dengan orangtua kami layaknya seperti kami menyelesaikan musim mengolah dan musim tanam disawah/ladang. Kami enjoy dengan perjungan hidup kami. Kami menganggap ini adalah sebuah proses. Kami beruntung ada diposisi itu. Mengeluh adalah hal yang tabu bagi kami.
Ketika kami diperhadapkan dengan situasi kekinian, yang penuh dengan sejuta tantangan, kami cukup siap dalam menghadapinya. Kami tidak menganggap suatu tantangan menjadi destroyer di image kami, namun kami sudah dibekali dengan peluru semangat, ketegaran, keteguhan serta tanggung jawab.

Bersambung masuk ke SMP

Tidak ada komentar:

Posting Komentar