Perbedaan berasal dari bahasa
Inggris difference yang atinya
adalah perbedaan. Di Negara ini,
Indonesia, perbedaan kerap kali menjadi persoalan. Perbedaan tidak bisa
diterima beberapa pihak yang tergabung dalam komunitas-komunitas radikal yang
menganggap paham merekalah yang benar da memandang paham lain rendah dan
menganggap apa yang diluar pemahaman mereka adalah kafir. Bukan tidak banyak
mereka berasal dari kelompok yang mengatas namakan agama. Layaknya suatu agama
mengajarkan tentang kebaikan untuk dilakukan dibumi ini. Mengajarkankan
bagaimana agar hidup berdampingan tanpa ada dengki dan merendahkan. Juga
mengajarkan tentag toleransi serta simpati terhadap individu lainnya. namun
kenyataannya adalah suatu agama menjadi buruk citranya oleh karena ulah-ulah
yang tidak bertanggungjawab tersebut. Itulah seputar perbedaan. Banyak pengamat
politik dan hukum serta pemerhati pendidikan mengatakan bahwa semua ini adalah
sebuah kegagalan pelaku pendidikan selaku pelopor karakter anak bangsa di negeri
ini. Seakan menjadi tugas utama guru dalam hal ini. Akan tetapi, kali ini tidak
berbicara tentang apa itu perbedaan dan bagaimana aplikasinya dalam kehidupan
ini, kali ini lebih cenderung pada kisah duniaku dan dunia teman-temanku.
Saya awali dari gambaran sebuah
kisah sepasang kekasih. Berakhirnya suatu hubungan pasangan kekasih apa bila
berakhir dengan naik tingkat, yaitu memulai hidup baru dengan gelar pasutri
atau pasangan suami istri. Barang tentu setiap pasangan telah memiliki
rancangan yang sudah mantap sebelum melangsungkan sebuah ikatan janji kasih
itu. Yang pasti adalah masa depan yang cerah dan dengan kesuksesan yang
melimpah. Berbagai persiapan pasti dilakukan untuk mengejar secercah harapan
yang indah. Katakanlah program jangka pendeknya adalah memiliki generasi baru.
So pasti, setiap lahir seorang anak pada sebuah pasangan akan hadir sebuah
kebahagiaan yang tak terbayarkan. Hingga menaruh semua harapan dan cita-cita
pada anak pertama. Apapun dilakukan. Persiapan untuk itu pun pastilah dengan persiapan
yang extraordinary. Memberikan asupan makanan bergizi serta vitamin yang cukup.
Menyekolahkannya disekolah favorit. Menyajung dan memotivasi bagaikan semua
bangsa telah menantikan kehadirannya didunia. Itulah yang seharusnya dimiliki
seorang anak yang baru lahir kedunia. Sebab dia tidak pernah minta untuk lahir.
Sebab dia putih bagaikan kapas. Sebab dia bukan mahluk yang bersalah. Sehingga
layak diperlakukan dengan penjagaan yang prima serta kasih sayang. Yang menjadi
pertanyaan. Apakah semua orangtua sudah memperlakukan anaknya dengan kasih
sayang?
Memperlakukan dengan penuh kasih
sayang. Apa yang menjadi tolok ukur perlakuan dengan penuh kasih sayang?
Memberi uang, mentraktir banyak orang, menyanjung dan meberi kado disaat natal
dan tahun baru atau ulag tahun. Apakah itu yang dinamakan dengan perlakuan
kasih sayang? Itu menjadi refleksi kita bersama dan cukup dijawab dalam hati.
Kini usia saya 26 tahun dan saya
makin mengerti dan bisa melihat arah hidup saya ada dimana alias passion. Saya semakin nyaman bersama
anak-anak. Tidak hanya bersama anak dimana tempat saya mengajar, namun setiap
melihat sosok anak menambah semangat diri saya dan seakan ada karisma dimata
saya ketika setiap anak memandang kearah saya. Mereka banyak yang tersenyum.
Saya senang dan bahagia saat melihat senyuman itu. Seakan senyuman itu menambah
amunisi semangat yang ada pada diri saya. Anak merupakan hal luar biasa bagi
saya. Saya semakin mengerti dunia anak. Mereka adalah harapan bangsa dan
generasi penerus dunia. Itu bukanlah teori semata. Walau kita hebat saat ini,
tapi kita sudah punya kemampuan terbatas disbanding mereka. Cita-cita kita
sudah pupus dimana kita berada saat ini, namun mereka masih punya sejuta
harapan dan cita-cita untuk masa yang akan datang. Jadi mereka bukan objek
permainan dan bukan hal sepele. Untuk itu anak-anak harus dibimbing, dijaga,
diarahkan da disayangi.
Dari awal tulisan ini mengulas
kejadian-keadian yang umum terjadi. Namu saya memiliki hidup atau dunia yang
berbeda dengan kejadian yang umum terjadi ini. Saya juga pernah didalam
kandungan orangtua saya, juga pernah lahir dinantikan banyak orang, pernah
kecil, remaja, dewasa dan hingga kini. Mengapa saya katakana punya dunia yang
berbeda disbanding teman-teman yang lain? Pembahasan selanjutnya akan menjawab
pertanyaan ini.
Kalau diawal saya mengatakan
seorang pasutri punya rencana atas anak yang bakal hadir ditengah-tengah
keluarga mereka. Dan itu kita amini bersama. Bagaimaa dengan orangtua saya?
Saya yakin bahwa orangtua saya dipercayakan oleh Tuhan untuk dititipkan bagi
mereka agar memuliakan-Nya kelak. Sudahkah mereka sukses dan bertanggungjawab
atas titipan yang Tuhan berikan itu? Saya tidak pernah menyalahkan mereka.
Justru mereka adalah pahlawan bagi diri saya. Apakah Tuhan salah memilih orang
untuk menitipkan saya? 100% tidak. Saya adalah satu dari beberapa orang yang
beruntung yang Tuhan titipkan kedunia ini. Mengapa? Biarlah terjawab lewat
pernyataan-pernyataan yang akan muncul nanti.
Ketika saya berusia satu tahunan,
fisik saya tidak tumbuh sebaik balita-balita lainnya. saya mengalami penyakit
yang kurang begitu aku ketahui persis nama penyakitnya sehingga saya harus
dirawat saudara laki-laki ibu saya, kalau di kami orang batak disebut Tulang.
Jadi usia balita, saya dirawat Tulang saya mulai saya tidak mengenal hidup
hingga mulai mengenal hidup. Mengapa saya yakin mengatakan demikian? Banyak
orang dan keluarga saya mengakui dan menyatakan hal itu pada saya. Hingga saya
tidak mengenal ayah dan ibu saya ketika saya pertama sekali mengenal hidup.
Saya mulai mengenal hidup ini kira-kira usia tiga tahunan. Saat itu saya sudah
bisa dilepas oleh Tulang saya karena penyakit saya sudah pulih dan mereka yakin
dengan asupan gizi natural yang sudah mereka berikan selama ada pada mereka.
Saat itu pula saya takut pada ayah dan ibu saya. Mereka datang menjemput saya.
Yang saya tau saat itu orangtua saya adalah yang merawat saya ketika sakit
yaitu Tulang saya. Kalau dipikir-pikir betapa sakitnya hatiu ibu saya saat itu.
Tapi semua itu adalah karena begitu besar kasih Tulag saya hingga menerima saya
untuk dirawat hingga sehat total. Seiring dengan berjalanya waktu saya mulai
bisa menerima ayah dan ibu saya sebagai orangtua saya.
Dengan rasa bangga dan rendah
hati, saya perkenalkan latarbelakang orangtua saya. Mereka dulunya adalah anak
orang yang berkecukupan, cukup terpandang di kampung mereka masing-masing.
Mereka merupakan anak yang maja saat masa mudanya. Mengapa saya katakana anak
yang cukup manaja? Contohnya ayah saya ketika duduk di bangku SMP, tidak jarang
saya dengar selalu trouble maker dalam setiap saat. Ketika duduk di bangku SMA
ayah saya sudah terbiasa diberangkatkan kesekolah dengan suguha uang kantong
yang lumayan banyak. Ayah saya dulu salah satu yang disegani dalam gengnya pada
saat itu. Hingga harus menjalani tiga sekolah yang berbeda saat itu. Jangakan
orangtuanya, saya saja mendengarnya sungguh tidak bisa diterima akal sehat
saya. Apa yang terjadi pad diri ayah saya? Apakah pendidikan yang salah yang
diterapkan orangtuanya? Setiap orangtua punya cara yang berbeda dalam mendidik
anak. Saya tidak tahu teori apa yang digunakan kakek-nenek saya dalam mendidik
anak-anaknya. Sebab saya belum ada saat itu. Tidak berbeda jauh dengan kisah
ibu saya. Konon katanya orangtuanya memperlakukannya berbeda dengan yang lain.
Dia seakan dianak emaskan, setiap ibu saya membuat permintaan, dalam hal ini
adalah permintaan untuk memilih tempat sekolah dan pilihan-pilihan lainnya.
sebuah kebebasan yang tapat yang diberikan orangtuanya pada ibu saya sehingga
yang menjadi masalah adalah kontrol yang kurang serius yang menjerumuskan ibu
saya harus meninggalka bangku kuliahnya dan memilih untuk bekerja karena
pengaruh lingkungan. Olehkarena kurang pengawasan tadi dengan leluasanya dengan
mudahnya dia diyakinkan oleh ibu saya. Tinggallah kuliahnya. Namun,
kenyataannya adalah pekerjaan yang dijanjikan temannya berujung ketidak
pastian. Begitulah sedikit dari gambara singkat masa lalu mereka berdua.
Kedua orangtua saya berpropesi
sebagai petani. Namun berbeda dengan selayaknya sebagai petani. Mereka tidak
punya latarbelakang yang cukup untuk menjadi seorang petani. Kita tahu lah
bagaimana masa lalunya. Memang anak petani berdasi, namun tidak pernah
bersentuhan dengan sarana-sarana dan tidak cakap dalam hal bercocok tanam. Sehingga
butuh waktu yang lama untuk menjalani proses belajar.
Ketika saya remaja sering
berpikir aneh dan merenung mengapa hidup kami tidak begitu enak seperti
keluarga-keluarga yang lain; akur, berkecukupan, selalu ceria. Terlepas dengan
apa yang terjadi pada diri mereka yang sebenarnya, namun yang saya lihat mereka
adalah hidup survive. Kini saya semakin memahami artinya hidup. Saya semakin
mengerti dan berusaha memahami semua yang terjadi pada keluarga kami.
Ketika saya berusia tiga tahun,
ibu saya menghabiskan hari-harinya disawah. Dia adalah ibu yang
bertanggungjawab dan penuh dengan perjuangan walaupun saya sering menyesalkan
menikah dengan ayah saya. Saya yakin penyesalannya itu hanyalah sebuah
kejenuhannya dalam setiap aktivitasnya disawah. Setiap hari ibu saya keladang
dan sawah, bekerja sembari saya tidur dalam gendongan ibu saya. Terkadang saya
ngeyel dipunggung ibu saya, saya menangis, saya tidak tahu kalau ibu saya
begitu lelahnya saat itu, tetesan keringat mengalir dipunggung ibu saya, tidak
mengerti apa itu. Terkadang ibu saya lelah dan menidurkan saya di joglo kecil
ditengah-tengah persawahan. tidak jarang saya menangis di joglo
memanggil-manggil ibu saya dan membiarkan saya merangkak bermain dipersawahan.
Itulah yang saya alami diusia seharusnya belajar. Justru saya menghabiskan
hari-hari bersama ibu saya diladang, bermain lumpur, bermain bersama hama padi,
belalang dan binatang-binatang kecil lain yang kadang-kadang menghinggapi
kepala saya tanpa sepengetahuan ibu saya ketika dia sedang sibuk dengan
padi—adinya saat itu. Sementara teman-teman seusia saya saat itu menghabiskan
masa kecilnya dengan mainan-mainan yang sedikit modern, yang lainnya sudah
duduk di bangku Play Group dan TK. Terjadi kesenjangan yang sangat vertikal.
Teman tema seusia saya sudah mengenal huruf dan angka dengan baik. Sementara
saya masih bergulat dengan lumpur dan celana serta baju basa saya akibat
dibiarin seharian bermain.
Kesenjangan telah ada diantara
saya dan anak-anak yang lain. Dalam bermain kami tidak pernah bertemu.
Berkomunikasi sangat jarang akibat tidak adanya pertemuan. Sangat mengganggu
psikologis saya. Ketika saya tiba-tiba bertemu dengan teman-teman seusia saya,
saya tidak tahu berkata apa. Lidah saya tidak terbiasa berucap sapa dalam
bermain. Saya hanya mengenal dan bisa menyebut nama kakak-kakak saya. Tidak
jarang saya dibulli teman-teman akibat kurang pergaulan saya dengan
teman-teman. Bukan hanya itu, saya jadi pendiam dan penakut ketika berhadapan
dengan orang-orang disekitar saya. Dan itu telah mendarah daging hingga saya
remaja dan bahkan dewasa. Saya takut bicara, saya takut salah, saya malu
ditertawakan orang. Kadang orang menilai salah pada diriku, akibat kebanyaka
diam, saya di judge sebagai orang sombong, tetapi mereka tidak mengerti apa
yang terjadi pada diri saya. Pendidikan psikologis yang sangat fatal telah
terjadi pada diri saya, semoga dan saya selalu berdoa agar adik-adik saya tidak
mengalami hal yang sama denga apa yang saya alami.
Sekitar usia tujuh tahun saya
memasuki bangku sekolah dasar tanpa menduduki bangku PG dan TK. Saat itu,
kurikulum masih menggunakan Kurikulum 1996 sehingga masih menggunakan catur
wulan. Satu catur wulan cukup bagi saya beradaptasi dengan teman-teman yang
lain. Selama satu catur wulan saya duduk terasingkan dari teman-teman saya.
Saya sekolah di kecamatan dimana sekolah itu sudah sedikit maju disbanding
sekolah dimana saya tinggal. Disamping saya belajar alphabet dan angka, saya
uga harus belajar bagaimaa berbicara dengan bahasa Indonesia yang benar. Saya
sering menadi cemoohan teman-tema saat itu karena mereka tidk mengerti dengan
apa yang saya ucapkan. Terkadang saya panik. Saya bagaikan patung ataupun
boneka saat kecil. Saya tidak tahu mengadu kepada guru ataupun orangtua saya
karena tidak terbiasanya berkomunikasi. Dalam catur wulan pertama saya menjadi
pendiam kelas berat. Barangkali tidak bisa dikatakan pendiam, banyak orang
kadang mengaggap saya orang bodoh. Beberapa kali guru saya mensomasi oragtua
saya mengenai karakter saya disekolah. Disatu sisi sikap diam adalah sebuah
kebanggaan. Saya tidak pernah mengganggu teman-teman layaknya seperti anak-anak
yang aktif yang saya jumpai dikelas saat itu. Akibat somasi tersebut saya pun
menjadi bahan ceramahan dirumah dan menjadi fokus didikan oragtua saya. Seingat
saya, orangtua saya tidak pernah membimbing saya dalam mengerjakan tugas dari
sekolah atau bahasa kami saat itu PR, semoga ingatan saya salah ya. Karena yang
saya ingat hanya kakak sulung saya lah yang memandu saya dalam mengerjjakan
setiap PR. Jerih payah saya dan kakak saya berbuah masih. Itu terlihat ketika
caturwulan ke dua saya menduduki peringkat pertama dikelas. Guru saya sayng
mensomasi orangtuaku dulu tidak melihat prestasiku saat caturwulan kedua sebab
dia sudah pension saat itu. Namun ketika dia mengetahui kabar itu dia
mengapresiasi perjuanganku. Sejak itu saya mulai mengenal diri saya dan semakin
percaya diri. Saya menahlukkan anak-anak orang kaya saat itu. Saat itu
terjadilah istilah anak petani menahlukkan anak pejabat. Saya yakin ibu saya
bisa tersenyum saat itu.
Barangkali teman-teman apabila
memperoleh peringkat yang bagus akan dihargai berupa suguhan kado ataupun
memberikan reward yang cukup menggiurkan sehingga memotivasi kita dalam
belajar. Berbanding terbaik dengan yang saya alami. Nothing reward, nothing
gift, hanya ciuman seorang ibulah yang menjadi hadiah. Kini saya sadari ciuman
itu melebihi harta kekayaan didunia yang fana ini. Ciuman sang ibu yang penuh
arti. Dia tulus memperlakukan dan mengapresiasikan itu kepada saya melebihi sebuah
kado dari seorang sinterklas. Tak terukur nilainya.
Menjalani sekolah dasar di SD
091444 Dolok Maraja kecamatan Dolok Panribuan, setiap hari pergi kesekolah
dengan jalan kaki. Terkadang saya menyayangkan ketika melihat anak-anak ama
sekarang menangis apabila tidak diantar dengan mobil ataupun motor kesekolah. Saya
berjalan kaki kesekolah sejauh 1,5 Km dari rumah. Disekolah kami harus tiba
paling lama pukul 07.00. lewat dari itu kami akan diberikan konsekwensi tidak
masuk kekelas serta dipulangkan sesuai dengan tingkat keseringan terlambat. So,
untuk mengantisipasi hal tersebut, saya dan kakak-kakak saya harus bangun pukul
05.00. kami punya tudah masing-masing. Ada yang memasak, membersihkan rumah dan
ngangkat air. Setelah itu kami beranjak ke kali saat remang-remang pagi untuk
mandi. Kami dan teman-teman sekampung sudah terbiasa mandi saat subuh dikali
dan itu menjadi sebuah rutinitas dikampung kami. Kami menganggap dunia kami
adalah dunia yang sebenarnya yang langsung bersentuhan dengan alam. Pukul 06.15
kami stand bye berangkat kesekolah jalan kaki. Kami hanya membutuhkan waktu 30
menit tiba kesekolah dengan jarak tempu 1,5 Km. Apabila kita perhitungkan
kecepatan kami adalah 3 Km/jam. Kami harus melalui persawahan ketika berangkat
kesekolah agar tidak terlambat dan tidak dihukum disekolah. Setiap pagi sepatu
kami basa akibat embun dedaunan dijalur-jalur persawahan. kami jadi bahan
olokan bagi teman-teman karena disaat siang hari ketika proses belajar mengajar
berlangsung terciumlah sudah aroma tidak sedap.
Disekolah kami diperlakukan
secara disiplin seperti militer. Kami tidak mendapatkan pendidikan karakter
disekolah. Kami hanya difokuskan menuntaskan pelaaran yang tebalnya sangat
memuakkan pada setiap buku, namun kami menikmatinya dan tidak bersungut-sungut.
Bagaimana kami bisa disiplin disekolah padahal kami tidak belajar tentang
kharakter seperti kurikulum 2013 yang mengutamakan sikap, keterampilan dan
pengetahuan? Kami banyak belajar tentang sikap spiritual dan dan sosial dari
orangtua saya secara khusus ibu tercinta. Disamping kami disuruh mengikusi
sekolah minggu setiang hari minggunya kami mendapatkan pelajaran karakter yang
sangat tak terbatas nilainya dari ibu saya. Ibu saya berangkat kesawah/lading
setiap hari pukul 07.00 setelah kami erangkat kesekolah. Sebagai seorang ibu
dia mempersiapkan makan siang kami diatas meja dibawah tudung saji dan dibagi
sesuai dengan piring masing-masing. Jadi, setiap kami pulag dari sekolah, kami
sudah punya jatah masing-masing untuk makan siang yang tersedia dipiring dan
tidak ada istilah nambah. Hanya sajja, tidak di label pakai nama. Namun kami
masng-masng sportif dan tidak curang dalam pengambilan makan siang. Itu tidak
jarang terjadi.
Sepulang sekolah, saya makan
siang dan ibu saya adalah tipe seniman. Dia sering menuliskan pesan dengan
menuliskan kapur dilantai rumah kami denga tulisan “Coki, pulang sekolah kamu
langsung datang keladang, tapi cuci dulu piring kekali” dan pesan-pesan yang
lain sering ditinggalkan dilantai rumah kami. Tidak hanya pesan buat saya, begitu
juga untuk kakak-kakak dan adik-adik saya. Kami punya mandate setiap hari
dengan perantara tulisan dilantai atau dimeja. Kadang-kadang ibu saya
menuliskan pesan lewat kapur, bilamana kapur sudah tiada, alternative yang lain
adalah arang hitam yang menjadi solusi, dia tidak peduli dengan kebersihan
lantai rumah, namun yang paling utama adalah message sent. Kadang saya berpikir
ibu saya adalah kreatif dan cemerlang cara berpikirnya. Dia adlah sosok yang
mempunyai segudang resolusi. Masalah apapun dalam keluarga kami selalu bisa
diatasi, berbeda dengan sosok ayah saya, ibu saya jauh lebih bijak.
24 jam sehari adalah penuh dengan
pembelajaran. Jika disekolah full belajar, jam istirahat terkadang saya duduk
dikelas coret-coret dan membaca walaupun tulisan saya tidak begitu cantik
tetapi saya suka menulis. Indicator suka menulis adalah bukan karena tulisannya
inadh dilihat an rapi tapi sejauhmana konsistensinya dalam menulis, itulah
pemahaman saya. Mengapa saya dikelas saat jam recess? Saya terkadang malu, teman-teman
yang lain menghabiskan recess kekantin sementara saya tidak punya uang untuk
itu, sehingga saya berpikir lebih dewasa dan mengambil kebijakan untuk menulis
dan membaca. Beberapa kali saya diminta teman-teman anak orang kaya mengerjakan
tugas/PR-nya dan saya diberikan bayaran, sebenarnya saya tidak menuntut balas
atas budi yang saya lakukan tetapi teman-teman punya niat tulus memberikan itu.
Terkadang itu bisa merupakan sebuah praktik KKN, seakan saya diukur dengan
sebuah bayaran. Entah mengapa, saya berpikir sangat dewasa/mature saat itu. Ini merupakan real life. Bukan semata-mata untuk
memperindah kata-kata dalam sebuah tulisan. Justru saya tidak bisa menulis
ketika saya mengarang. Namun semua ini adalah hal yang terjadi dalam hidup
saya.
Setiap pulang sekolah, makan
siang dan langsung kesawah/lading. Tergantung message yang dititipkan sang ibu
selaku otoritas kami dirumah. Usia Sekolah dasar mulai dari kelas satu hingga
kuliah tangan saya sudah bersahabat dengan cangkul dan lumpur atau apapun itu
yang berhubungan dengan pertanian. Pada saat pengolahan lahan, orang lain sibuk
dengan menggunakan teknologi canggih, traktor. Sementara kami memanfaatkan
sumber daya yang ada seperti tenaga kami ber empat bersaudara dan adik saya
yang bontot belum bisa bergabung bersama kami. Kami mengolah sawah secara
manual dengan menggunakan kaki dan cangkul. Saat musim tanam, orang lain sibuk
dengan mengharapkan tenaga upahan untuk menanam padi di lahannya. Sementara
kami tanam sendiri dengan memanfaatkan tenaga yang ada. Kami selalu diusahakan
terlatih dalam segala hal pekerjaan.
Pengalaman hidup yang tak
terlupakan. Jika teman-teman saya sepulang sekolah sibuk dengan bimbingan
belajar dan khursus, saya sibuk dengan cangkul saya di lading/sawah. Kini saya
sadari, ibu saya adalah sosok motivator bagi kami anak-anaknya. Saat kami
bekerja disawah, ibu saya sangat rain berceritera, mendongeng, menceritakan
cerita-cerita rakyat tradisional serta kearifan lokal yang ada diyakini disuku
kami. Keluarga kami berasal dari dua suku ayah saya Batak Toba dan ibu saya
Batak Simalungun. Nah, itu yang memperkaya cerita ibu saya saat kami bekerja di
lading. Tidak segan-segannya juga dia menceritakan masa-masa suka-duka ibu saya
saat muda, dia bercerita tentag mantan-mantannya.
Walau setiap hari kami lakoni,
kami tidak merasa lelah karena cerita ibu saya yang tiada putus-putusnya.
Selalu ada bahan ceritanya. Sungguh dia adalah sosok guru-digugu dan ditiru.
Sebenarnya ibu saya terakhir meninggalkan bangku kuliah kira-kira semester dua
di Fakultas Keguruan jurusan Bahasa dan
Sastra Inggris disalah satu kampus di Kota Pematangsiantar saat itu. Saya tidak
mengaggap bahwa ibu saya ulet dalam bercerita oleh karena sempat kuliah. Karena
saya tahu masa kuliahnya dulu tidak begitu mulus.
Kami terbiasa bekerja dengan
secara team seperti paham goton-royong. Dipenghujung jalur sawah terkadang kami
istirahat sekalian melepas lelah dan mengisi ulang air sebagai pelepas dahaga.
Kadang kami disuguhkan dengan ubi rebus oleh adik saya perempuan yang langsung
direbus diladang itu juga. Bagaikan ditaman firdaus. Kami nyaman memerankan
hidup yang lebih dari cukup itu.
Usai istirahat sebentar kami
kembali bekerja dan ibu saya sangat sering memotivasi kami dengan mencontohkan
orang-orang sukses dari kampung kami itu. Dia tahu persis latarbelakang mereka
dan ibu saya sering mengucapkan “si Anu
itu dulu sama seperti kita, orangtuanya tidak punya apa-apa, namun karena
gigihnya dalam bekerja dan rajin belajar dia sarjana dan menjadi pejabat”
saat itu dia adi kepala BKD di daerah
kami. Bukan itu saja, masih banyak figure-figur lain menjadi yang diperlihatkan
bagi kami. Ibu saya sering menyemangati kami dengan kata-kata “aku yakin kalian
pasti sarjana semua kelak da sukses”. Ungkapan itu berulang kali terbersik ditelinga
kami. Perkataan itu sungguh memang membuncah semangat kami dalam bekerja dan
belajar.
Setiap orang didunia ini pasti
punya permasalahan. Baik individu maupun dalam keluarga. Bukan bermaksud
merendahkan harkat dan martabat keluarga saya. Keluarga saya menurut pandangan
orang adalah tergolong broken home. Mengapa? Ayah saya dengan
saudara-saudaranya tidak akur satu sama lain. Maklum, dikampung saya masih bisa
ditemukan persoalan warisan antar saudara sehingga menyebabkan pertikaian
keluarga pada saat itu. Saya tidak tahu bagaimana dengan sekarang. Karena saya
sedang jauh dari daerah asal saya. Saya berharap itu tidak terjadi lagi. sebab
mindset sudah berkembang seiring kemajuan teknologi dan peran serta gereja
ditengah-tengah masyarakat sehingga meminimalisir gejala-gelaja sosial
tersebut.
Walau terkesan broken home. Ibu
saya tetap tegar dalam menakhodai kemana arah keluarga kami. Ibu saya tidak
goyah dengan apa kata mereka. Dia tetap bekerja, berjuang dan berdoa. Dia punya
keyakinan bahwa apa yang dikerjakannya adalah sungguh tulus dan benar.
Pelarajan hidup yang sangat berharga yang dipertontonkan sang ibu kepada saya
dan saudara-saudara saya. Ibu saya tidak pernah larut dalam sebuah persoalan
yang tidak memiliki arti. Dia lebih memilih untuk bekerja bersama kami
anak-anaknya.
Dengan gejolak ekonomi dan rumah
tangga kami yang begitu berantakan. Ibu saya menanamkan kepada kami agar lebih
dewasa menyikapi situasi. Menanamkan sikap mengenal jati diri atau bahasa
daerah kami disebut BOTO LUNGUN alias tau diri. Setelah saya
banyak membaca buku, saya temukan praktik yang salah yang diperankan ibu saya
untuk kami anak-anaknya saat itu. Dia meminta kami agar menyikapi atau memahami
situasi orangtua kami saat itu. Kami diajarkan untuk memikirkan darimana sumber
kebutuhan sehari-hari dan harus menutupi utang yang banyak untuk biaya sekolah
atau bercocok tanam. Dari salah satu buku yang saya baca karangan Hawari Aka
mengatakan bahwa “ketika kita meminta anak-anak memposiskan dirinya diposisi
kita saat kita bermasalah itu artinya kita merendahkan diri kita”. Otomatis dia
lebih dewasa yang bisa mengerti kita. Ketika saya baca itu saya teringat akan
kejadian-kejadian itu dan itu tidak terjadi hanya sekali. Namun, itu tidak jadi
masalah bagi saya dan saudara-saudara saya, kami bersikap professional sebagai
anak. Kami memahami penuh situasi dan kondisi kedua orangtua kami. Mereka juga
tidak percah bercita-cita memiliki keluarga yang penuh dengan perjuangan
seperti keluarga kami saat itu.
Yang menjadi hal menarik adalah
saat kami anak-anaknya sudah dewasa dan kami menyelesaikannya bersama-sama
dengan orangtua kami layaknya seperti kami menyelesaikan musim mengolah dan
musim tanam disawah/ladang. Kami enjoy dengan perjungan hidup kami. Kami
menganggap ini adalah sebuah proses. Kami beruntung ada diposisi itu. Mengeluh
adalah hal yang tabu bagi kami.
Ketika kami diperhadapkan dengan
situasi kekinian, yang penuh dengan sejuta tantangan, kami cukup siap dalam
menghadapinya. Kami tidak menganggap suatu tantangan menjadi destroyer di image
kami, namun kami sudah dibekali dengan peluru semangat, ketegaran, keteguhan
serta tanggung jawab.
Bersambung masuk ke SMP