Kamis, 10 Maret 2016

Resolusi 2015



Kick off the second round di semester 2 T.A. 2014/2015
Mengawali semester itu, saya telah lakukan berbagai usaha mulai dari memotivasi diri saya hingga pembobotan secara akademik yang walaupun saya lakukan secara autodidactic. Cara ini adalah cara klasik yang saya miliki sejak saya mengenal tulisan hingga saat ini. Saya tidak memiliki dana yang cukup untuk mengikuti pelatihan extra secara nonformal untuk meningkatkan kemampuan/skill yang saya bidangi saat ini. Namun saya yakin dengan cara klasik ini saya akan mendapatkan sesuatu yang berarti atas apa yang saya targetkan. Saya berkeyakinan bahwa sebuah kesuksesan terdiri dari 1 % bakat dan 99 % usaha. Demikian diungpkapkan seorang filsafat favorit saya Albert Einstein. Namun diatas semua itu, Tuhan turut campur tangan atas usaha dan menjawab doa-doa saya, Amin.
Tidak sampai disini saja. Usaha dan pemikiran saya ternyata masih berlanjut dan bahkan mengerucut ke hal-hal yang mengkhawatirkan atas diri saya sendiri. Seakan terbersik ke telinga dan hati saya sehingga ini sangat mengganggu bagi kelangsungan pelayanan sebagai seorang pengajar. Bukan tidak banyak seruan bagaikan seorang malaikat mengingatkan saya atas kekhawatiran ini, namun saya seakan lebih kuat untuk menentang semua seruan itu. Ada diantara mereka yang memberikan semangat lewat doa, ada yang selalu mengingatkan lewat perhatian dan kesaksian-kesaksian nyata yang cukup memberikan pelajaran atas semua ini. Seakan apa yang ada di sekelilingku berlalu begitu saja tanpa menghiraukannya.
Kini, kenyataan terjadi seakan menjawab semua kekhawatiranku. Seakan aku menyesali semua apa yang terjadi. Terkadang aku menyalahkan diriku sendiri. Saya menjadi lemah dan lumpuh secara rohani. Aku menjadi sensitive atas semua yang terjadi di sekelilingku. Kesalahan kecil yang saya lakukan serasa sebuah gajah besar ada di pelipis mata ini, sehingga saya tidak lagi mampu untuk memandang terangnya sebuah hidup. Saya telah dibutakan sebuah kekhawatiran dan penyesalan. Saya bertanya. Apakah ini jawaban dari kekhawatiran ini?
Ya Tuhan.. saya menganggukkan sebuah permohonan pada-Nya, kiranya dibukakan pintu dan menunjukkan jalan atas semua ini. Memanglah manusia sungguh mahluk tidak berdaya dan tidak berarti apapun dibanding Tuhan Sang-pencipta.
Sangat jenuh dan frustasi rasanya ketika tidak bisa berbuat banyak dan harus berkata apa. Hati kecil terkadang berkata “mungkin bukan passion saya ada disini”. Namun saya harus tetap teguh pada pendirian bahwa the power of semangat ada pada diri saya. Saya adalah bukan saya yang pecundang saat ini. Saya ada pada ketika saya pertama kali ada di posisi ini. Integritas yang tinggi dan militansi yang luar biasa yang selalu saya miliki kini seakan tidak berjalan/ berfungsi. Saatnya butuh bahan bakar rohani untuk membakar semangat ini.
Banyak orang berkata, semakin kita mengalami banyak cobaan, itu artinya kita sedang diuji untuk naik level. Statement ini terkadang mampu menetralisir kebimbangan saya agar kembali kepemikiran yang motivated. Yang menjadi pertayaan adalah apakah situasi saat ini ada kaitannya dengan proses ujian yang diartikan pendapat umum ini? Semakin membingungkan diri saya.
Saya menyadari bahwa saya tidak ahli di bidang yang saya geluti saat ini. Saya hanya ingin merenung. Saya ada disini apakah hanya pelengkap dalam artian untuk memenuhi kwota atapun tidak ada pilihan lain? Sesak dada ini. Tidak sanggup menerima pertanyaan ini. Semoga pemikiranku salah. Namun bilamana itu benar, bukankah mereka yang ada di sekelilingku cukup sabar menerima kebodohan ini? Atau mereka hanya menunggu tenggang waktu yang harus dituntaskan secara administrasi saja?
Ya Tuhan, pikiran ini selalu negative untuk menyikapi semua ini. Keyakinan saya sanyat tinggi dengan asumsi-asumsi lewat pertanyaan ini. Seakan tidak salah lagi. Namun sebaliknya, dibalik keringkihan jiwa ini saya melihat ada pertolongan Tuhan lewat hamba-hambaNya di sekelilingku untuk menjadikan saya menjadi pribadi yang lebih siap lagi. Mereka memahami saya dan banyak cara yang dilakukan untuk meng upgrade saya saat ini. Semoga semua usaha ini menjadi aga gunanya bagi saya dan berharap akan lebih baik lagi.
Sulit menterjemahkan kedalam rangkaian kata-kata. Kejanggalan yang begitu banyak yang saya lakukan dalam pengajaran saya. Dua minggu berlalu tahun ini bersama anak-anak. Pertemuan yang paling awal dan hendaknya mengasyikkan bagi mereka justru mereka menilai dan memandang saya dengan tidak sesuai yang ada pada pikiran saya. Beberapa dari mereka membenci dan tidak bisa menerima kekurangan saya. Setiap pulang dari sekolah saya menyempatkan waktu untuk merenung sejenak dengan apa yang mereka labelkan pada diri saya. Sangat menggangu semangat saya dan saya bingung tidak tahu melakukan apa agar mereka bisa menerima seadanya saya. Saya menjadi bahan ejekan beberapa dari mereka. Saya ditentang dan memperlakukan tidak enak didengar dan hingga menyakitkan hati. Saya hanya bisa berbdoa atas mereka agar mereka menjadi manusia baru yang mampu melihat poin of view seseorang termasuk saya. Semoga Tuhan bekerja di hati mereka dan Tuhan selalu memberkati mereka.
Wahai anak-anak. Saya tidak menganggap kalian sebagai musuh. Saya marah bukan karena benci. Kemarahanku bukanlah sebuah amarah, namun adalah kasih sayang. Jangan membuat hati ini tertekan dan belajarlah mengerti orang dan melihat sisi baiknya. Semoga Tuhan membekali saya, memberikan kebijaksanaan dan kepintaran bagi saya, Amin.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar