Kick off the second round di
semester 2 T.A. 2014/2015
Mengawali semester itu, saya
telah lakukan berbagai usaha mulai dari memotivasi diri saya hingga pembobotan
secara akademik yang walaupun saya lakukan secara autodidactic. Cara ini adalah cara klasik yang saya miliki sejak
saya mengenal tulisan hingga saat ini. Saya tidak memiliki dana yang cukup
untuk mengikuti pelatihan extra secara nonformal
untuk meningkatkan kemampuan/skill
yang saya bidangi saat ini. Namun saya yakin dengan cara klasik ini saya akan
mendapatkan sesuatu yang berarti atas apa yang saya targetkan. Saya
berkeyakinan bahwa sebuah kesuksesan terdiri dari 1 % bakat dan 99 % usaha.
Demikian diungpkapkan seorang filsafat favorit saya Albert Einstein. Namun
diatas semua itu, Tuhan turut campur tangan atas usaha dan menjawab doa-doa
saya, Amin.
Tidak sampai disini saja. Usaha
dan pemikiran saya ternyata masih berlanjut dan bahkan mengerucut ke hal-hal
yang mengkhawatirkan atas diri saya sendiri. Seakan terbersik ke telinga dan
hati saya sehingga ini sangat mengganggu bagi kelangsungan pelayanan sebagai
seorang pengajar. Bukan tidak banyak seruan bagaikan seorang malaikat
mengingatkan saya atas kekhawatiran ini, namun saya seakan lebih kuat untuk
menentang semua seruan itu. Ada diantara mereka yang memberikan semangat lewat
doa, ada yang selalu mengingatkan lewat perhatian dan kesaksian-kesaksian nyata
yang cukup memberikan pelajaran atas semua ini. Seakan apa yang ada di sekelilingku
berlalu begitu saja tanpa menghiraukannya.
Kini, kenyataan terjadi seakan
menjawab semua kekhawatiranku. Seakan aku menyesali semua apa yang terjadi.
Terkadang aku menyalahkan diriku sendiri. Saya menjadi lemah dan lumpuh secara
rohani. Aku menjadi sensitive atas
semua yang terjadi di sekelilingku. Kesalahan kecil yang saya lakukan serasa
sebuah gajah besar ada di pelipis mata ini, sehingga saya tidak lagi mampu
untuk memandang terangnya sebuah hidup. Saya telah dibutakan sebuah
kekhawatiran dan penyesalan. Saya bertanya. Apakah ini jawaban dari
kekhawatiran ini?
Ya Tuhan.. saya menganggukkan
sebuah permohonan pada-Nya, kiranya dibukakan pintu dan menunjukkan jalan atas
semua ini. Memanglah manusia sungguh mahluk tidak berdaya dan tidak berarti
apapun dibanding Tuhan Sang-pencipta.
Sangat jenuh dan frustasi rasanya
ketika tidak bisa berbuat banyak dan harus berkata apa. Hati kecil terkadang
berkata “mungkin bukan passion saya ada disini”. Namun saya harus tetap teguh
pada pendirian bahwa the power of
semangat ada pada diri saya. Saya adalah bukan saya yang pecundang saat ini.
Saya ada pada ketika saya pertama kali ada di posisi ini. Integritas yang
tinggi dan militansi yang luar biasa yang selalu saya miliki kini seakan tidak
berjalan/ berfungsi. Saatnya butuh bahan bakar rohani untuk membakar semangat
ini.
Banyak orang berkata, semakin
kita mengalami banyak cobaan, itu artinya kita sedang diuji untuk naik level. Statement ini terkadang mampu menetralisir kebimbangan saya agar
kembali kepemikiran yang motivated.
Yang menjadi pertayaan adalah apakah situasi saat ini ada kaitannya dengan
proses ujian yang diartikan pendapat umum ini? Semakin membingungkan diri saya.
Saya menyadari bahwa saya tidak
ahli di bidang yang saya geluti saat ini. Saya hanya ingin merenung. Saya ada
disini apakah hanya pelengkap dalam artian untuk memenuhi kwota atapun tidak
ada pilihan lain? Sesak dada ini. Tidak sanggup menerima pertanyaan ini. Semoga
pemikiranku salah. Namun bilamana itu benar, bukankah mereka yang ada di sekelilingku
cukup sabar menerima kebodohan ini? Atau mereka hanya menunggu tenggang waktu
yang harus dituntaskan secara administrasi saja?
Ya Tuhan, pikiran ini selalu negative untuk menyikapi semua ini.
Keyakinan saya sanyat tinggi dengan asumsi-asumsi lewat pertanyaan ini. Seakan
tidak salah lagi. Namun sebaliknya, dibalik keringkihan jiwa ini saya melihat
ada pertolongan Tuhan lewat hamba-hambaNya di sekelilingku untuk menjadikan
saya menjadi pribadi yang lebih siap lagi. Mereka memahami saya dan banyak cara
yang dilakukan untuk meng upgrade
saya saat ini. Semoga semua usaha ini menjadi aga gunanya bagi saya dan berharap
akan lebih baik lagi.
Sulit menterjemahkan kedalam
rangkaian kata-kata. Kejanggalan yang begitu banyak yang saya lakukan dalam
pengajaran saya. Dua minggu berlalu tahun ini bersama anak-anak. Pertemuan yang
paling awal dan hendaknya mengasyikkan bagi mereka justru mereka menilai dan
memandang saya dengan tidak sesuai yang ada pada pikiran saya. Beberapa dari mereka
membenci dan tidak bisa menerima kekurangan saya. Setiap pulang dari sekolah
saya menyempatkan waktu untuk merenung sejenak dengan apa yang mereka labelkan
pada diri saya. Sangat menggangu semangat saya dan saya bingung tidak tahu
melakukan apa agar mereka bisa menerima seadanya saya. Saya menjadi bahan
ejekan beberapa dari mereka. Saya ditentang dan memperlakukan tidak enak
didengar dan hingga menyakitkan hati. Saya hanya bisa berbdoa atas mereka agar
mereka menjadi manusia baru yang mampu melihat poin of view seseorang termasuk
saya. Semoga Tuhan bekerja di hati mereka dan Tuhan selalu memberkati mereka.
Wahai anak-anak. Saya tidak
menganggap kalian sebagai musuh. Saya marah bukan karena benci. Kemarahanku
bukanlah sebuah amarah, namun adalah kasih sayang. Jangan membuat hati ini
tertekan dan belajarlah mengerti orang dan melihat sisi baiknya. Semoga Tuhan
membekali saya, memberikan kebijaksanaan dan kepintaran bagi saya, Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar